“ beritahu aku, bagaimana akhir kisah ini ? “
Avelin
Naura, itulah namaku. Aku selalu merasakan bahagia, tapi itu semua terjadi
hanya dimasa lampau. Kini, aku hanyalah gadis yang kesepian dan terkadang tak
pernah tersenyum. Lekukan indah bibirku ini dulu sering menghiasi wajahku, saat
bertemu dan dekat dengannya. Namanya Dera, lelaki seusiaku yang hidup
dijalanan. Ia sering mengantarkan koran atau majalah, terkadang ia juga sering
menjadi kasir di sebuah minimarket kompleks rumahku. Pertama aku mengenalnya
pada saat ia duduk dipinggir jalan dan rantai sepedaku terlepas. Aku terbiasa
bersepeda untuk berkeliling kompleks rumahku. Saat kejadian yang tak ku
inginkan itu terjadi disanalah Dera membantuku. Aku masih ingat semua
percakapan kami dipertemuan pertama itu.
“ Bisa saya bantu non ? “
“ Iya mas, tolong benerin rantai sepedanya ya ? “
“ Baik non, tunggu sebentar. “
Ia
sibuk membenarkan rantai sepedaku. Selama itu pula aku merasa mengenalinya,
seseorang yang tak asing lagi bagiku. Semua pikiran tentangnya terasa samar.
Aku merasa mengenalnya akan tetapi akupun tak ingat sama sekali siapa dia. Tak
lama kemudian
“ Ini udah bener non “
“ Ah,jangan panggil aku non gitu. Kita kayaknya seumuran.
Namaku Avelin. Kamu ? “
“ Aku Dera non “
“ Btw, makasih ya Dera udah bantu aku. Kamu baru pulang
kerja ya ? “
“ Iya Non “
“ Beli Ice cream yuk? “
“ Maaf non saya harus pulang, lain kali saja atuh “
“ Yaudah, hati-hati dijalan ya Dera “
Sejak
pertemuan itu aku merasa penasaran dengan sosoknya. Seperti teman lama, hanya
saja seakan tak pernah saling kenal. Setiap sore aku selalu berkeliling taman,
berharap bisa bertemu dia lagi. Namun aku tak pernah menemukannya sejak
pertemuan pertama itu, dimanakah Dera ? Berhari-hari aku menunggu akhirnya
pertemuan kami yang kedua pun terjadi. Saat itu ia sedang menunggu di halte bus
didekat kompleks, wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup.
“ Dera ? “
“ Avelin? “
“ Kamu sakit Der? “
“ Iya, cuman demam. Udah empat hari ini, makanya ini mau
pulang aja kerumah “
“ Aku anterin ya ? “
“ Ngga deh Lin, makasih “
“ Kamu ngga boleh nolak! “
Dengan
sedikit paksaan akhirnya dia mau aku antar sampai kerumah. Ku urungkan niat
Dera untuk pulang dengan bus. Aku langsung menelpon supirku dirumah agar
menjemput kami. Selama diperjalanan pulang Dera menggigil kedinginan, akan
tetapi tubuhnya mengalami demam tinggi. Ku pikir dia perlu perawatan khusus
sesampainya dirumahnya nanti.
Saat
tiba dirumahnya, ku dapati rumah yang sangat mewah melebihi rumah ku di
kompleks. Kami pun turun dari mobil, lalu Dera mengetuk pintu rumah besar itu.
“ Den Dera, aduh Aden kenapa pucat begini ? ngga makan?
Sakit Den ? “
Aden? Berarti ini rumahnya, dan yang membukakan pintu ini
adalah Bibik nya.
“ Dera nya sakit Bik, demam tinggi. Telepon dokter ya ? “
“ Iya non. Ayuk masuk Den “
Aku dan
Bibik memapah Dera menuju ruang tamu. Rumah itu cukup megah, namun dalamnya
seperti rumah-rumah orang pada umumnya saja. Tak ada yang istimewa. Namun aku
terkesima melihat sebuah foto dengan figura yang mewah terpajang besar di
dinding ruang tamu itu. Sebuah foto keluarga yang sederhana namun seperti
berbicara dan memiliki nyawa. Foto itu melukiskan kebersamaan antara Dera dan
keluarganya, berlokasi di sebuah pantai,gunung,sawah,dan pemakaman. Ya, itu
sebuah foto kolase dari berbagai tempat yang digabungkan menjadi satu figura.
Hatiku bertanya-tanya mengapa harus ada foto pemakaman di kolase itu ?
Hari
ini aku akan menjenguk Dera, membawakan sekeranjang buah dan serangkaian bunga
mawar putih, ku harap Dera menyukainya. Saat aku ingin mengetuk pintu rumah
Dera, tiba-tiba terdengar suara tangis seorang perempuan. Sayup-sayup suara itu
terdengar, akupun langsung membuka pintu rumah itu. Betapa terkejutnya aku
harus mendapati Dera tergeletak dilantai dengan darah yang masih segar.
“ Bik...Dera kenapa ?”
“ Den Dera jatuh non. Bibik tadi ngambilin obat. Ternyata Den
Dera mau pergi keluar “
Isak tangis Bibik tedengar sangat menyayat hati. Tanpa sebab
akupun ikut menitikkan air mata.Mawar putih yang ku bawa tadi terjatuh dan berubah menjadi merah karena tercampur dengan darah Dera. Akupun membawa Dera kerumah sakit terdekat
untuk mendapatkan penanganan medis.
Detak jantungku
semakin kencang. Perasaan tak karuan terus bercampur dengan air mata ini. Isak tangis
terus terdengar dari Bibik Dera. Kemana ayah dan ibunya ? Saudaranya? Mengapa tak
kemari ? Akupun memberanikan diri untuk bertanya pada Bibik.
“ Bik. Dera itu anak tunggal ? Orang tuanya kemana ? “
“ Ngga non. Den Dera itu kembar dan punya satu saudari
perempuan. Orang tuanya bercerai dan mereka tidak tinggal di Indonesia lagi “
“ kembar ? siapa kembarannya Bik? Saudarinya? “
“ Iya, Dera itu kembaran Dana. Dan saudarinya bernama
Avelina”
“Avelina? Mirip namaku ya bik. Aku Avelin tanpa huruf a
diakhirnya. Lalu dimana saudara-saudari Dera ? mengapa ia tinggal sendirian
dirumah besar itu ? “
“ Avelina itu anak angkat saja non. Ia sekarang sekolah di
Belanda. Sedangkan Dana, sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Setahun sebelum
Dana meninggal, bapak dan ibu bercerai entah karena apa. Den Dana meninggal
karena sakit. Keadaan semakin kacau setelah Dana meninggal non”
Aku terpaku
mendengarkan kisah hidup Dera. Avelina? Nama yang sangat mirip denganku. Aku juga
pernah bersekolah di Belanda. Tapi aku tahu, Avelina bukanlah aku. Nama kami
hanya mirip dan sama mengenal Dera. Aku memang tidak sempat mengenal Dera
dengan detail,tapi untuk saat ini aku akan terus menunggunya. Aku selalu
berharap jika ia segera sadar dari tidur panjangnya.
Aku tak
pernah mengerti apa yang dirasakannya. Apa yang dideritanya. Karena aku tak
pernah siap jika mengetahui lalu takut kehilangannya. Semua hari-hari yang ku
lalui dengan Dera selalu ku tulis dibuku catatan kecilku, hanya catatan bukan
diary. Berhari-hari aku dirumah sakit, berhari-hari pula Dera tak kunjung
sadar. Apakah ia sudah meninggal? Belum! Denyut nadinya masih ada, detak
jantungnya masih berdetak (walau lemah) dan darahnya masih mengalir. “teman kamu
ini sedang koma dek” kata seorang perawat saat aku menyeka tangan Dera.
Dengan sabar
ku lalui hari-hari dirumah sakit ini dengan menunggu Dera. Aku selalu meyakini
jika ia akan sadar sesegera mungkin. Dan setiap hari pula aku menuliskan banyak
kata di buku catatan kecil ku ini. Berharap saat Dera sadar ia akan tahu betapa
aku mencintainya sejak pertama bertemu. Tapi, akankah itu semua bisa ku lakukan
? dan apakah ini cinta?
Dera... sejak mengenalmu aku terus memikirkanmu. Sejak hari
itu kau membuatku penasaran. Aku seperti mengenalmu namun aku tak mampu
mengingatnya. Nama saudarimu mirip denganku Avelina. Mungkin aku ditakdirkan
untuk menggantikan Avelina dihidupmu, namun aku tak berharap jadi adikmu...aku
berharap lebih. Aku yakin kau tahu itu Dera. Selama kau tak pernah bangun, aku
terus disini menemanimu, dan saat kau membaca ini masihkah nafasmu berhembus ?
Untuk segala penantian
tak berujungku
Seperti apakah akhir
kisah ini ?
Aku akan terus menunggu akhir kisah ini
Salam hangat dari orang
yang mencintaimu Avelin
ku dedikasikan untuk semuanya yang pernah menanti dan menunggu
jangan pernah lelah dan takut menjalani akhir kisah ini :)