I haved loved you for a thousand years
I’ll loved you for a thousand more
Suara Chirtina
Perri mengalun indah ditelingaku. Menemaniku di ruangan yang sepi ini. Kaca
jendelaku basah. Penuh embun. Setiap pagi aku selalu begini. Menghirup udara
bebas, menyuruput kopi hangat, ditemani oleh embun dan sesekali kicauan burung
yang terbang bebas. Tapi pagi ini aku sedang ditemani alunan nada dan lirik
yang indah milik Christina Perri.
Saat sedang
santai. Menikmati ketenangan di pagi hari. Tiba-tiba sebuah SMS membuyarkan
ketenanganku. Dari seseorang yang jauh dariku.
“ selamat pagi cinta? Bagaimana kabarmu pagi ini? “
Aku tersenyum
tipis membaca kalimat di layar handphoneku. Dengan nama kontak ; Riza. Dia
kekasihku. Berjarak ribuan kilometer dari tempatku berada. Ia orang yang ku
cintai. Dengan jarak yang selalu jadi alasan untuk saling merindukan.
“ selamat pagi
juga cinta. Puji Tuhan baik. Semua menyenangkan pagi ini. Kamu? “-balasku
“
Alhamdulillah,aku juga baik kok. Jangan lupa makan ya. Jangan lupa pagi ini ke
Gereja. Aku kuliah dulu ya. See u later dear. Ntar kalo aku udah nyampe,aku
telepon kamu.”-balasnya.
“ iya sayang,kamu
juga jangan lupa sholat Jum’at ya. Jangan lupa makan. Aku sayang kamu.”-balasku
“ Me too.”
Balasnya.
Kami adalah
pasangan beda agama. Dengan jarak yang membentang. Tak meruntuhkan kepercayaan yang
terbangun saat pertama kali mengikat janji dalam hubungan yang mungkin tabu.
Aku terlahir dilingkungan agama katolik taat. Dan dia dilahirkan dilingkungan
Islam yang kuat. Aku dan dia bagai dua orang yang berusaha memanjat langit yang
tak bertiang. Sejauh ini aku dan dia sudah satu tahun lebih bersama. Dalam
segala perbedaan yang ada. Dalam jarak yang tak kunjung mendekat. Dan aku
Celia,dia Riza. Kami masih saling menjaga.
“ sayang,jangan lupa alkitabmu. Rosariomu. Yang khusyu’ ya” lembut suaranya ditelingaku
“ iya. Take care
sayang. See you. “ jawabku seadanya
Berat rasanya
mengakhiri percakapan via telepon ini. Aku masih rindu dia. Tapi aku sudah di
depan gereja. Dan dia harus pulang kerumah. Memang sulit menjalani segala
sesuatu yang berbeda. Aku dan Riza baru bisa bertemu minggu depan. Ah,rasanya
waktu satu minggu itu bagiku sungguh menyiksa. Harus bisa menahan rindu yang
menggebu. Harus bisa menunggu hari berganti. Sulit,bagiku itu sulit. Karena
rindu ini sudah tak sabar ingin menemui tuannya. Ia sudah tak bertemu selama
dua bulan. Rindu semakin membuncah saja setiap harinya.
Satu minggu kemudian
“ setelah ini
kamu kemana? “
“ biasa
sayang,aku kebaktian. Antar aku ya? “
“ sip deh. Ntar
aku tunggu ditempat biasa. Trus baru kita ngobrol lagi.”
“ iya. Tapi kamu
ngga apa-apa harus nunggu aku? “
“ nggak apa-apa
kok sayang. Kamu harus mendahulukan yang menciptakanMu. “
“ ok. See you
darl. “
“ see u later.
I’m wait.”
Baru sebentar
kami bersama. Aku harus kebaktian di gereja. Dan dia tak pernah mau aku
meninggalkan apa yang menjadi kewajibanku. Ia rela menungguku.
Setelah dua bulan
tak bertemu hari ini rindu itu bertemu dengan tuannya. Tak banyak yang ia
lakukan. Ia hanya menikmati setiap detik bersama tuannya. Karena setiap detik
yang dilewati adalah hal indah yang mungkin takkan dua kali terulang.
“ Yuk pulang “
“ ok. Tapi ntar
mampir ke mesjid dulu ya belum sholat isya nih “
“ iya sayang “
Setelah menungguku
kebaktian dan menunggunya sholat isya. Kami melanjutkan melepas rindu kami. Aku
dan Riza memutuskan untuk mampir ke tempat dimana kami bisa menghirup aroma
ketenangan ; bau teh dan kopi. Aku dan Riza adalah penikmat kopi tingkat akut.
Kafein yang ada didalam kopi sanggup membuat apapun yang terasa menyedihkan
jadi bahagia.
“ kamu pesan apa?
“
“ kali ini aku
teh aja. Greentea ya.”
“ loh tumben? “
“ hhee,aku udah
ngopi tadi waktu nunggu kamu”
“ oh yaudah. Mau
pesen makan? “
“ Pie Apple aja
ya,laperrrr...hhee”
“ oke deh.
Greentea,Vanila latte,Apple Pie”
Sembari menunggu
pesanan kami berbincang santai. Membicarakan yang tak pernah tersampaikan.
Membicarakan tentang hubungan yang rumit ini. Sudah dua tahun. Cukup lama. Dan
Riza sudah mempunyai pekerjaan. Kuliahnya tinggal menunggu wisuda. Dan aku sudah
bekerja setelah lulus SMA dikantor Papa sebagai Kepala Divisi Perencanaan. Kami
sudah cukup mapan. Niat untuk menikahpun selalu jadi khayalan yang sangat
menyenangkan. Akan tetapi tak semudah berkhayal. Dalam kenyataan aku dan Riza
terlalu rumit untuk bisa bersama. Bagaimana bisa manusia menyatukan yang sudah
di takdirkan Tuhan untuk berbeda? Bagaimana bisa manusia yang hanya beralaskan
cinta bisa begitu saja bisa bersama dalam sebuah perbedaan yang tak sewajarnya?
Tak habis pikir rasanya saat aku menalar semua ini.
“ gimana kuliah
kamu? Lancar?”
“ puji Tuhan
lancar. Cuman kalo masalah kerjaan aku lagi pusing nih. Anak buahku banyak yang
baru dan belum banyak yang bisa dipercaya buat bantu kerjaan aku. Ribet banget
deh semenjak karyawan lama aku sekarang pindah divisi”
“ ya dilatih
dong. Kamu kan bos nya jadi ajarin mereka. Biar bisa secepatnya bantu kamu.”
“ iya sayang”
Makanan sudah
didepan mata. Aku melipat tangan. Ia menengadahkan tangan. Tujuan kami sama.
Mengucap rasa syukur kepada Tuhan. Dengan sebutan yang berbeda. Dengan bahasa
yang tak sama. Selesai berdoa ku lihat ia dengan lahapnya menyantap setiap
potongan demi potongan Apple Pie yang dipesannya. Aku tahu dia lapar. Karena
sudah menungguku. Terlebih karena dia baru saja sampai ke tempatku,dan aku
langsung menculiknya. Rindu memang kejam. Ia selalu egois untuk dirinya
sendiri. Ia tak peduli bagaimana sang tuan. Yang ia tahu hanyalah kebersamaan.
Hari kedua dia ditempatku
Pagi sekali aku
sudah dibangunkan oleh sebuah telepon dari Riza. Ia memintaku untuk membuka
pintu rumahnya. Akupun segera beranjak dari tempat tidurku. Berlari menuruni
anak tangga. Dan sampai didepan pintu utama. Ku buka dengan penasaran. DAR!!! A
sweet morning!!! Ada bucket bunga mawar merah dan putih. Dan boneka teddy bear
berukuran besar. Sebesar adikku yang berusia 6 tahun.
“ iiiiii
bonekanya lucu. Dari siapa kak? “
“ ih kok kamu kok
tiba-tiba muncul sih. Ngagetin tau! “
“ hee,maaf kak.
Tapi itu dari siapa? Pacar kakak yaa? Hayoo? “
“ ih mau tahu
aja. Kepo banget yaa”
“ ih kakak. Aku
cuman nanya!!! “
“ yaudah mandi
sana. Trus kita jalan hari ini. Ok? “
“
ok bos!!! “
----
Saat jalan-jalan
bersama adik dan kakak-ku aku bertemu Riza. Dia sedang bersama teman-temannya.
Kami saling melihat. Tapi tak menyapa. Karena ia tahu aku sedang bersama adik
dan kakak-ku dan tak mungkin baginya untuk tiba-tiba menghampiriku dan berkata
sayang??!
“ kamu sama siapa
aja tuh ?”
“ temen dong.
Kenapa? “
“ ngga apa-apa.
Kayaknya masing-masing sama pacarnya? Kamu ngga cemburu? “
“ ngga lah.
Ngapain juga cemburu. Aku kan punya kamu”
“ maafin aku ya.”
“
buat apa?”
“ ngga bisa
nemenin kamu “
“ ngga apa-apa
sayang. Toh tadi kita ketemu. Lusa aku pulang.”
“ Ok lusa. Besok
kamu seharian sama aku ya.”
“ iya.”
Di tempat yang
sama. Di waktu yang sama. Aku hanya bisa berkomunikasi via SMS dengan kekasihku
sendiri. Padahal ia di depan mataku. Ada. Nyata. Tak ada jarak. Ia duduk
dibelakang kursiku. Kami makan ditempat yang sama. Di satu restaurant yang
sama. Aku dekat dengannya. Tapi rasanya ada yang kurang. Sekalipun ia
didekatku. “ Seharusnya dia disampingku.
Bukan dibelakangku”
----